Monday, November 25, 2013

Not Really A City Girl

Selama ini saya berpikir saya adalah seorang city girl. Lahir dan besar di Jakarta, kuliah di Bandung dan London, lalu kembali ke Jakarta untuk bekerja. Sejak kecil saya selalu terpana melihat gemerlap lampu-lampu di gedung-gedung pencakar langit saat malam tiba.

Masa kecil saya habiskan bermain bersama teman-teman di sekitar rumah. kami bermain segala macam permainan anak-anak yang bisa dilakukan di halaman rumah yang sempit atau di jalan lingkungan yang juga terbatas. Tidak ada sawah, sungai, apalagi hutan he3... Saat kuliah di Bandung, meskipun kota-nya tidak sebesar Jakarta, tapi saya tetap menimatinya. Bandung Indah Plaza menjadi tempat tujuan cuci mata wajib setiap bulan demikian juga Gelael Dago. Meskipun uang saku dari orang tua pas-pasan, saya selalu usahakan untuk membeli baju baru atau makanan enak sebulan sekali he3.

Lulus kuliah, saya langsung bekerja di Jakarta.  Setelah tiga tahun bekerja, saya mendapat beasiswa kuliah S2 di London. Wow, 2 tahun di sana benar2 masa yang sangat berkesan. London, kota multicultural, melting pot bagi manusia di seluruh dunia, dengan sejarah yang panjang dan tentu saja berjuta atraksi yang tidak akan pernah bisa membuat bosan orang yang tinggal di sana. Terlebih lagi, kampus saya berada persis di pusat kota hingga seringkali kalau saya sedang stres dengan perkuliahan, saya tinggal menenangkan diri berjalan kaki menyusuri sungai Thames. Atau saya juga tinggal melangkahkan kaki ke National Gallery mencari inspirasi dari lukisan-lukisan karya maestro dunia. Atau yang paling sering saya lakukan, meleburkan diri dengan para turis dan belanja-belanji di Covent Garden yang cuma selemparan batu dari kampus saya. Ha3.. bahagia rasanya, hilang pusing-pusing di kepala.

Kembali ke Jakarta untuk bekerja, saya masih dalam love affair dengan kota besar. Setiap kali berangkat ke kantor melewati jalan Sudriman - Thamrin, saya masih terpana melihat gedung-gedung megah di kanan kiri jalan. Seminggu sekali tiap Jumat siang, saya dan teman-teman makan siang di berbagai resto di Plaza Indonesia dan Grand Indonesia sambil menengok toko-toko dan memburu sale ini itu. Hmmm... I loooveee big cities!

Sekarang kami tinggal di Mandeville, kota kecil di seberang danau Ponchartrain. Kota ini keciiiill sekali, saya dan suami sering bercanda kalau kami sedang terdampar di salah satu desa di USA. Tidak ada gedung tinggi, tidak ada mal, tidak ada bioskop. Bioskop terdekat ada di Covington, kota lain sekitar 15 menit dari rumah, namun sejak kami pindah ke sini 3,5 tahun yang lalu, bioskop ini sedang dalam renovasi. Sampai sekarang. Untungnya mereka membangun bioskop baru, juga di Covington yang menjadi satu-satunya tempat bagi anak-anak muda Mandeville menonton film-film Hollywood di malam minggu.

Hari ini saya pergi ke supermarket dengan anak laki-laki saya yang berusia 4 tahun. Kami belanja sayur-mayur dan seafood untuk saya masak 3 hari ke depan. Keranjang kami tidak terlalu penuh dan berat oleh karena itu saya membiarkan anak saya mendorong kereta belanja saat kami keluar berjalan menuju mobil. Begitu sampai di luar, perhatian saya terpecah antara mengawasi anak saya agar tidak berlari menyeberang jalan dengan sibuk memasukkan dompet ke dalam tas dan mengambil kunci mobil. Hingga bruuukkk..... anak saya dan kereta belanja beserta isinya jatuh ke jalan. Alhamdulillah anak saya sama sekali tidak terluka, hanya mukanya meringis mau nangis mungkin karena kaget.

Sedikit panik, saya sibuk memastikan anak saya baik-baik saja. Dua orang ibu-ibu, yang satu hendak masuk ke supermarket dan yang satu lagi sama-sama baru selesai berbelanja, langsung datang membantu. Mereka ikut berjongkok mengumpulkan belanjaan saya yang bertebaran tumpah di jalan. Mereka juga membantu mengangkat kereta belanja ke posisi semula, memasukkan barang-barang belanjaan saya kembali ke kereta dan menanyakan kondisi anak saya. Semua terjadi begitu cepat, begitu spontan.

Saya berungkali mengucapkan terima kasih kepada mereka. Bukan karena saya benar-benar membutuhkan bantuan mereka, tapi karena saya tersentuh dengan spontanitas mereka menolong saya.

Dalam perjalanan menuju rumah, saya berpikir bahwa orang-orang di sini baik sekali. Lalu muncul kejadian-kejadian dimana saya lihat apabila ada 2 orang yang berjalan menuju arah yang sama dari tempat yang berbeda (hampir tabrakan), mereka pasti berlomba-lomba untuk mengalah, memberikan kesempatan orang lain untuk jalan lebih dulu. Demikian pula memegang pintu dan menahannya agar tetap terbuka untuk orang lain di belakang kita sudah menjadi budaya. Sopan santun di jalan raya juga kental terlihat. Tidak pernah saya mendapati mobil di belakang saya 'menempel' ketat, jaraaangg sekali saya dengar bunyi klakson dan hampir tidak pernah saya lihat mobil memotong antrian (apalagi orang, sama sekali tidak pernah saya lihat dimanapun orang memotong antrian).

Lalu saya kembali berpikir, apakah ini bisa terjadi karena kami tinggal di kota kecil dimana penduduknya lebih ramah, lebih santai dan lebih sopan. Apakah perilaku yang menyenangkan ini hanya ada di kota kecil? Saya tidak berani membayangkan perilaku yang sebaliknya saat kami kembali ke Jakarta. Jika memang semua ini hanya bisa terjadi di kota kecil, saya sadari bahwa saya telah salah selama ini. I am  a country girl instead! ;)

Tuesday, November 12, 2013

Feeling Low

However hard i try to keep positive, there's just that time when I can't help feeling down. We are just human after all, never an angel. :P

That time stroke on my 25th radiation treatment. May be I was just bored, may be it's the home sick feeling, may be it's the longing for a normal life, or may be it's just the way you feel when you're not feeling well. Yeah, I've been having this runny nose for about 3 days. The chill in your body, the stuffy nose, the light headache, they're just uncomfortable.

Well, that's not the end of the story. Right when I needed to rest the most (since they said common cold would go away by itself as long as you take plenty or rest, water, and nutrition, and they also said you would get fatigue much easier the closer you are to the end of the treatment so be gentle to your body), the bathroom ceiling at my hotel room was leaking. It's a nasty leakage that I had to move to another room.

The move should not have been a problem should the hotel were not undergoing a renovation on the third floor so finding a replacement room were just a click of a button. The move should have been a breeze should I hadn't been staying there for more than a month and would have had only one nice little luggage instead of two giant ones and tons of other stuffs. The move would just be a piece of cake should I could use both arms normally. Well.... I managed to move anyway in some good 5 round trips from the old room to the new one.

However, I'm not writing this note to complain about what I've been through. I'm writing this to let you know how I eventually conquered the feeling. Yes, I did laugh at myself all the way during the round trips. I called my husband and we made a joke about what's happening to me. Ha3.... It felt good after that. It helped a lot to have my husband laughing with me. I don't think it would feel the same if I didn't have him to share. Having someone to share whether the good or the bad things is always better. I'm so lucky to have him with me. ;)

Thursday, November 7, 2013

To Give Back What We've been Given

Belakangan saya jadi kecanduan nonton berita tv pagi. Seperti sudah saya ceritakan sebelumnya, saya senang sekali melihat tayangan tentang orang-orang yang melakukan hal-hal yang menurut saya luar biasa. Sesuatu yang memberikan inspirasi, menyentuh hati, memberikan semangat di awal hari dan meyakinkan diri bahwa masih banyak orang baik di dunia ini. ;)

Pagi ini ditayangkan cerita tentang mantan pemain NFL (liga American football yang sangat bergengsi di sini) yang sekarang kerjaannya membangun rumah-rumah yang dirancang khusus untuk anggota angkatan bersenjata yang terluka dan cacat permanen sepulangnya dari tugas negara. Rumah-rumah tersebut diberikan gratis dari dana donatur yang dimotori oleh mantan pemain football ini. Saat diwawancara, pemain football ini mengatakan ia bukan pahlawan, ia hanya ingin memberikan kembali apa yang sudah begitu banyak ia terima dalam hidup ini. "I just want to give back what i've been given.", begitu katanya.

Saya terkesan sekali dengan kata-katanya dan terutama dengan apa yang ia lakukan.  Selama ini rasanya saya terlalu sering hanya sibuk dengan urusan saya sendiri. Hidup saya kurang ini, kurang itu, saya belum mencapai ini, mencapai itu, saya belum memiliki ini, memiliki itu, banyak sekali masalah yang belum saya selesaikan, dsb dst. Ooohhh.... Membandingkannya saya jadi malu sendiri, betapa sempitnya hidup ini jika hanya berputar di sekitar diri sendiri. Apakah hidup seperti itu yang saya inginkan?

Saya jadi berpikir mungkin dengan membuka hidup kita bagi orang lain, dunia akan terasa lebih lapang, lebih indah. Hidup akan terasa lebih berarti. Apa yang bisa saya lakukan? Hmmm..... Baiklah saya akan mencoba dengan mulai menghitung betapa banyak nikmat yang telah saya terima lalu melihat betapa saya belum melakukan apa-apa untuk membalasnya. Dengan memikirkan apa yang dapat kita lakukan untuk orang lain, kita akan mulai meninggalkan ruang sempit dimana masalah, beban, kesulitan kita membelengu. Kita akan memasuki dunia yang lebih besar, lebih luas, lebih berarti.

Lalu saya jadi teringat dengan salah satu teman baik saya di sini. Mbak Rara (nama saya samarkan) dan keluarganya sangat banyak membantu keluarga kami selama saya menjalani pengobatan ini. Ia selalu menawarkan bantuan-bantuan, mulai dari mengasuh anak kami setiap saya habis kemo atau selama saya dan suami ada di Houston, membelikan bahan-bahan makanan Indonesia di toko yang lumayan jauh dari rumah, sampai menemani hunting furniture di toko secondhand dan mengangkutnya ke rumah (saya memang terus melakukan shopping therapy sebagai salah satu holistic approach dalam pengobatan ini hi3). Lalu ada juga Nana, tetangga dekat kami yang rajin mengirimkan makanan selama saya belum pulih benar dari kemo dan operasi dan juga mas Didi yang setiap hari mengantar dan menjemput anak kami sejak saya habis melahirkan hingga harus kemoterapi. Mereka telah memberikan banyak pada keluarga kami. Mereka telah mempraktekkan apa yang sampai saat ini masih berupa konsep bagi saya.

Mungkin kita tidak harus membangun rumah untuk diberikan ke orang lain seperti mantan pemain NFL ini, tapi paling tidak setiap hari kita bisa melakukan hal kecil untuk orang lain seperti teman-teman saya tadi. Bisa dengan memberikan tips lebih besar di restoran, membantu mengangkat barang orang yang kelihatan kerepotan, menjawab dengan baik pada orang yang bertanya, berbagi informasi yang menurut kita penting, tidak menghalangi jalan orang lain, menjadi tenaga sukarelawan, mendonorkan darah, memberikan sumbangan lebih banyak di sekolah kita dulu, run for a cure, menawarkan bantuan pada orang yang kelihatan membutuhkan, dst, dst. Wow, ternyata banyak yang bisa dilakukan jika kita benar-benar memikirkannya.

Apa yang telah saya lakukan hari ini untuk orang lain? Hmmmm...... Saya akan membiasakan diri memasukkan pertanyaan itu di kepala saya setiap hari. ;)

Monday, November 4, 2013

Laugh at Ourself

Seringkali kita secara spontan tertawa melihat seseorang tidak sengaja tersandung lalu terjatuh dan menunjukkan mimik muka yang lucu. Atau melihat rekaman video candid tentang seseorang yang terkaget-kaget lalu mengucapkan kata-kata aneh saat ditakut-takuti. Atau kita juga akan tertawa melihat anak kecil yang sedang belajar makan menggunakan sendok berteriak-teriak kesal dan membuang sendok serta piring penuh makanan ke lantai karena berkali-kali tidak berhasil menyendok makanannya. Semua menjadi lucu jika bukan kita yang mengalaminya.

Sekarang bayangkan jika semua itu terjadi pada diri kita. Hmmm rata-rata kita akan merasa kesal terhadap lantai yang tidak rata yang membuat kita tersandung, atau sebal terhadap orang yang ngerjain kita, atau bahkan marah melihat anak kita mengotori karpet baru di rumah.

Ternyata emosi yang terlibat bisa sangat berbeda antara pelaku penderita dengan penonton. Kenapa sebagai penonton kita bisa tertawa? Apakah mungkin sebagai pelaku penderita kita juga bisa tertawa? Setelah saya pikir-pikir lagi, ya kita bisa. Harus bisa.

Jika kita posisikan diri kita sebagai penonton yang melihat kejadian itu, kita juga akan bisa tertawa geli. Tidak ada salahnya kita menarik diri sebentar dan melihatnya sebagai tontonan, pasti akan terlihat lucu. Akan sangat melegakan apabila kita juga bisa menertawakan hal-hal bodoh yang terjadi pada diri kita. Apabila tidak ada lagi yang bisa kita lakukan untuk mengubah yang telah terjadi, mengapa kita tidak tertawa saja. Mengapa kita mau menjadi korban 2 kali? Kalau kita sudah terlanjur jatuh, kesal tidak akan membatalkan jatuh yang sudah terjadi. Karpet sudah terlanjur kotor, marah tidak akan membuat karpet menjadi bersih. Mengapa kita tidak tertawa saja? Paling tidak kita bisa ikut senang melihat kejadian lucu.

Seperti wiken kemarin. Seperti biasa Hermann Park menjadi tujuan kami menghabiskan Sabtu pagi. Semua berjalan menyenangkan sampai kami naik kereta api mini keliling taman. Hingga.....saya tidak sengaja menjatuhkan air mineral botol saya dari atas kereta yang sedang berjalan. Entah kenapa, hal itu sangat mengganggu anak kami. Mood-nya langsung berubah, ia menjadi kesal dan meminta saya mengambil air botol yang jatuh. Yang tentu saja tidak mungkin mengingat kami sedang di atas kereta yang terus berjalan. Bukan sekali ia meminta saya mengambilnya. "Mommy, you dropped your water. You have to get it back." Begitu katanya. Berulang-ulang dengan mimik muka kesal. Satu menit, dua menit hingga hampir 10 menit. Suasana yang tadinya menyenangkan tinggal sedikiiiittt lagi berubah. Saya yang tadinya dengan sabar dan tenang menjawab "Yes, I accidentally dropped the bottle but I can't get it back now the train is moving.", lalu "I don't need the water anymore.", lalu "I will just buy another bottle when the train stops." lalu capek sendiri dan saya diamkan saja.

Hampir saja saya kesal dan sebal dengan situasi yang saya hadapi, kenapa sih anak ini tidak mau mengerti juga. Namun saya sempat berpikir untuk melakukan eksperimen emosi. Saya mencoba menarik diri, mengambil jarak dari apa yang terjadi, menjadi penonton. Boom, tiba-tiba situasi yang hampir membuat saya kesal justru saya lihat menjadi lucu. Anak kami yang berulang-ulang mengatakan hal sama dengan kesalnya, menjadi pemandangan  yang lucu yang membuat saya tertawa. Lalu, bukannya saya marah dan memarahi anak kami, saya justru tertawa geli. Saya mengajak suami saya menertawakan situasi yang kami hadapi. Ajaibnya dengan tertawa itu, saya menjadi rileks dan bisa muncul ide untuk mengalihkan perhatian anak kami dari hal yang membuatnya kesal. Ha3... Selamatlah wiken kami saat itu.

Sooooo, lain kali jika kita terjebak kemacetan karena salah mengambil jalan, tertawalah. Silly things happen in our life. Why not get the fun of it. Laugh out loud! Ha3...